Selasa, 15 Juli 2008

Orang Sundanya Hanya Bertepuk Tangan

KASENIAN kabudayaan, jasana sanes lumayan.

Itu sebait lagu Sunda yang sering disenandungkan para juru kawih sejak dulu. Mungkin sejak tahun duapuluhan. Karena para sinden beken zaman itu, seperti Nyi Arnesah, seorang sinden terkenal istri Partasuwanda, dalang termashur tempo dulu, dan Nyi Iti Katem, juru kawih kiliningan dari Ujungberung, pernah melantunkannya. Paling tidak, menurut R Moch. Afandi, penulis buku "Bandung Baheula" (1969), bait lagu yang berarti kesenian dan kebudayaan berjasa besar itu, pernah menjadi favorit dan ngetop.

Pendapat itu seolah-olah memperoleh pembenaran dari Beki, wanita Amerika Serikat, yang telah sepuluh tahun mempelajari seni budaya Sunda di Bandung.

"Memang, seni budaya Sunda itu mahal harganya," kata Neng Beki, yang tampil berkebaya dan bersanggul, bersama Kang Ibing yang menjadi MC pada acara pembukaan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I, di Gedung Merdeka.

Siapa berani menyangkal. Pergi jauh dari AS, tinggal di negeri orang dan belajar seni budaya Sunda, pasti memerlukan biaya besar.

Tapi, masih kata Neng Beki pula, dalam bahasa Sunda yang fasih yang disambut gelak tawa hadirin: "Mung diicalna mah mirah pisan."

"Euleuh-euleuh, kitu geuning!" sambut Kang Ibing. "Paingan atuh paingan. Orang Sunda sendiri jarang yang mau mempelajari, memelihara, dan melestarikan seni budaya Sunda. Akibatnya nilai jual seni budaya Sunda anjlok. Ngan aneh, yang bukan Sunda seperti Neng Beki ini, mati-matian menekuni seni budaya Sunda. Ari urang Sundana sorangan lebih suka seni budaya asing."

Untuk memperjelas dugaannya, Kang Ibing mencoba bertanya tentang makanan sehari-hari Neng Beki sekeluarga di Bandung.

"Nya atuh katuangan urang Bandung bae. Sapertos karedok, sambel, lalab," jawab Neng Beki meyakinkan.

"Padahal urang Bandung asli mah, nu rereana urang Sunda, makannya teh burger, pizza, friedchicken. Kalau begitu mah pabaliut atuh," Kang Ibing garuk-garuk kepala.

Apa yang didialogkan Kang Ibing dan Neng Beki di hadapan peserta KIBS I, merupakan salah satu dampak globalisasi. Penduniaan yang merata, namun tidak seimbang. Budaya Chicago amat dominan memporakporandakan Cikaso. London menohok Losari. Paris mengalahkan Padang. Terutama di bidang "3-F" sebagaimana diungkapkan John Naisbit dan Patricia Aburdeen dalam bukunya "Megatrend 2000" (1985), yaitu food (makanan), fun (hiburan) dan fashion (mode).

Penampilan para seniman-budayawan yang ikut memeriahkan pembukaan KIBS I menunjukkan kebenaran pendapat Naisbit-Aburdeen di atas. Paling tidak, para pecinta seni-budaya Sunda dari kalangan warga asing cukup mampu menoreh perasaan terdalam orang Sunda asli. Seperti dari pintonan kacapi suling dan tembang Cianjuran, yang ditampilkan oleh Andy, remaja Amerika Serikat. Dia memakai jas tutup batik hijau dan bendo sewarna, Andy amat terampil memetik kacapi indung. Berpadu manis dengan Makeko, gadis Jepang, yang memetik kacapi rincik. Harmonisasi irama mereka sangat serasi dengan tiupan suling dari Rachel, gadis Inggris, mengiringi Kiko, gadis Jepang yang melantunkan Cianjuran "Papatet" dan"Tejamantri", serta seuntai lagu panambih yang khas.

"Emh, Masya Allah, aya kituna eta batur," lagi-lagi Kang Ibing menarik napas panjang. "Orang Sundanya sendiri, hanya mampu bertepuk tangan saja! Yah, apa boleh buat. Teu bisa ngacapi, teu bisa nembang, surak-surak atuh sing rame!"

Ternyata bukan kepiawaian orang asing, semacam Beki, Andy, dan kawan-kawan yang membuat hati orang Sunda terharu. Minimal di forum pembukaan KIBS I. Sajian demonstrasi pencak silat oleh lima "ABG" -- dua putra dan dua putri -- malah membuat seorang peserta menangis tersedu-sedu. Tentu saja mengherankan. Tepak kendang padungdung, dan alunan terompet dalam lagu "Kembang Beureum" seharusnya menggugah semangat. Cerah ceria. Sambil menghapus lelehan air mata berkali-kali, peserta itu bicara terbata-bata kepada kawan di sampingnya.

"Ada beberapa alasan mengapa saya sedih waktu menyaksikan pencak silat barusan. Pertama, saya sudah sangat lama tidak mendengar bunyi kendang dan terompet. Waas, kagagas. Kedua, saya tidak menyangka, kelima anak remaja tadi begitu rikat dan tangginas memainkan jurus. Nakis, jeblag, suliwa, amat sempurna mereka peragakan. Mata saya terbuka sekarang. Pencak silat Sunda itu indah dan dinamis. Sayang, selama ini saya terlalu terpukau oleh Jet Li, Andy Lau atau Chen Lung....." peserta itu menuturkan sambil terbata-bata.

Keterasingan orang Sunda terhadap seni budaya sendiri, mungkin karena keterlenaan. Banyak orang Sunda tidak mau melihat kenyataan hidup sehari-hari. Mereka terlalu tanggah kana sadapan. Mendongak saja ke atas. Jarang yang tungkul kana jukut. Akibatnya, mereka kehilangan kreativitas. Kehilangan spontanitas.

"Padahal karya seni itu tercipta berdasarkan kondisi sehari-hari," komentar Kang Ibing yang diamini Neng Beki. "Misalnya, dulu ada seniman menciptakan tarian Memetik Teh. Itu karena orang kebanyakan suka minum teh. Coba kalau orang kebanyakan suka minum kopi, pasti tercipta Tari Memetik Kopi. Dan kalau sehari-hari minum susu, pasti tercipta tarian Memetik...."

Untung sebelum Kang Ibing ketelanjuran, Neng Beki cepat menukas, untuk segera melanjutkan acara pembukaan. Dan Kang Ibing, ibarat mewakili watak orang Sunda, menyatakan: "Hampura saja. Memang orang Sunda itu suka kamana mendi".

Kamana-mendi dalam makna lain berarti teu ajeg. Tidak kukuh. Luak-leok. Oportunis. Tidak istiqamah. Tidak teguh pendirian. Betulkah demikian? Forum Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) I yang akan berlangsung hingga 25 Agustus lusa, akan mencoba menjawabnya melalui berbagai kajian yang bermuara kepada penyelamatan dan promosi budaya daerah Sunda di tengah persaingan global.(H Usep Romli HM)***

Pikiran Rakyat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar